Sabtu, 17 Maret 2012

Kenaikan Harga BBM 2012

Nama : Bintang Eka Putra
Npm  : 10209864
Kelas : 3ea08

KENAIKAN HARGA BBM 2012
 
       Berita yang paling hangat dibicarakan sekarang adalah tentang krisis kenaikan harga BBM. menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Alasannya pun tidak jauh berbeda dengan alasan dinaikkan sebelumnya, yaitu harga minyak dunia telah melebihi angka 100 dollar AS per/barel, sementara asumsi harga minyak di APBN 2011 berada pada angka 80 dollar AS per/barel. ingat setiap kali BBM akan dinaikkan, ambis & logika pemerintah tidak pernah berubah.
ini sudah kedua kalinya pemerintah menaikkan harga BBM dan kenaikan harga BBM menjadi masalah yang seolah-olah tidak terhindarkan, kerap menambah beban masyarakat, serta memicu kekacauan politik. tidak terlihat juga upaya menghindari risiko kenaikan harga BBM.
Sebenarnya banyak langkah alternatif yang bisa dimanfaatkan, contohnya membuat perencanaan anggaran yang lebih akurat serta merancang rencana induk kemandirian (keswadayaan) energi dan bahan bakar. dengan cara mengeksplorasi energi-energi alternatif minyak. Benarkah semua alasan-alasan yang dibilang pemerintah untuk menaikkan harga BBM tersebut? Atau hanya mengada-ada? beberapa masalah BBM, misalnya pengelolaan BBM sekarang sangat tidak efisien apalagi tingkat pengurasan cadangan minyak mencapai 8x lebih tinggi dibanding tingginya eksplorasi negara-negara penghasil minyak dunia seperti Arab Saudi dan Libia.
       Cadangan minyak sekarang berkisar empat miliar barel, di Indonesia produksi minyak rata-rata satu juta barel per hari (bph). Dengan begitu, reserve to production ratio (RPR) berada posisi angka empat. berarti jauh di bawah Arab Saudi dan Libia. Dengan cadangan minyak mencapai 265 miliar barel, Arab Saudi hanya memproduksi minyak rata-rata delapan juta bph atau tingkat RPR-nya mencapai 35. ada juga Libia, dengan cadangan minyak 46 miliar barel dan produksi 1,5 juta bph, memiliki tingkat RPR 30. Artinya selama ini negara menguras cadangan minyak lebih kurang delapan kali lebih cepat dari Arab Saudi dan Libia. Sayangnya, hal itu tidak diikuti dengan pembuatan ladang-ladang minyak baru. Eksploitasi mencapai puncaknya pada tahun periode 1975-1976 dengan tingkat produksi minyak di wilayah barat 250.000 bph dan menjadi penyumbang terbesar produksi nasional, sebesar 1,5 juta bph.
      Semenjak kejadian itu , produksi minyak nasional terus menurun, dan kini hanya menghasilkan 70.000 bph. Penurunan produksi minyak nasional itu sebenarnya masih ditutupi dari pengurasan cadangan Duri yang dimulai sekitar 1980-an dengan tingkat produksi sekitar 400.000 bph. Eksploitasi Duri membuat produksi nasional kembali mencapai puncaknya pada 1995-1996, yakni 1,6 juta bph.
Kini, lapangan Minas dan Duri hanya menghasilkan 360.000 bph. Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu diharapkan dapat berproduksi 165.000 bph pada 2014 dari 20.000 bph saat ini. Dengan konsumsi bahan bakar minyak yang di atas 1,2 juta bph dan kemampuan kilang domestik hanya 700.000 bph, sisa kebutuhan BBM harus diimpor.

Walaupun cukup banyak ditemukan ladang minyak baru, ukurannya masih jauh lebih kecil. Sebaliknya, eksplorasi yang belakangan gencar dilakukan di kawasan Indonesia bagian timur malah menghasilkan penemuan cadangan-cadangan gas dalam jumlah besar, di antaranya Tangguh, area deepwater Selat Makassar (Gandang, Gendalo, Gehem, dll), Masela (Laut Timor), dan terakhir oleh Genting Oil di Bintuni. Cadangan minyak yang berukuran cukup besar kebanyakan berada di kawasan barat, seperti lapangan Minas, Duri, dan Cepu.

Penemuan cadangan minyak x ini sangat rendah, disebabkan penurunan investasi migas di Tanah Air karena proses investasi migas yang berbelit-belit pasca penerapan UU Migas No 22 Tahun 2001. Dengan UU tersebut, proses investasi bisa menghabiskan waktu lima tahun karena melewati birokrasi.

Padahal, dengan UU Migas yang lama, UU 8 Tahun 1971, hanya diperlukan waktu tiga bulan. Investasi migas di Indonesia bahkan tercatat sebagai salah satu yang terburuk di dunia. Berdasarkan survei Global Petroleum pada 2010, Indonesia ada di urutan ke-111 dari 133 negara.

Lalu, yang paling penting namun terabaikan ialah tidak jelasnya road map cadangan minyak Indonesia. Road map itu sebenarnya sangat vital karena, berdasarkan Ikatan Ahli Geologi (IAI), cadangan minyak bumi Indonesia tinggal empat miliar barel. Bahkan bisa saja malah sekitar 3,7 miliar barel.

Namun, apa pun itu, diperkirakan tinggal 10 tahun lagi cadangan minyak kita. Apalagi produksi minyak RI hanya sekitar 945.000 barel per hari. Yang memprihatinkan lagi, anggaran pencarian sumur minyak hanya 0,07 persen dalam APBN. Seharusnya pemerintah membuat rencana induk yang jelas dari sekarang. Cari bagian yang perlu dikurangi subsidinya dan rencanakan dari sekarang.

Bila Indonesia terus mengabaikan hal itu, bukan tidak mungkin ke depan malah akan mengimpor 1,3 juta barel per hari minyak bumi. Padahal konsumsi minyak tentunya akan terus tumbuh karena setiap tahun ekonomi naik dan jumlah penduduk bertambah. Pemakaian minyak di Indonesia minus 400.000 barel setiap hari.
Solusi Tidak ada persoalan yang tak bisa diselesaikan, asal ada upaya yang cermat dan sungguh-sungguh. Skenario penyelesaian masalah periodik ini harus dipikirkan secara komprehensif melalui langkah-langkah berikut.       
Pemerintah harus menyusun road map cadangan menuju swasembada minyak dan energi. Road map ini harus memuat skenario membebaskan diri dari kebergantungan pada impor BBM untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri yang terus meningkat. Pemerintah juga harus mencari alternatif. Selain itu, perlu upaya lebih serius mengatasi kecenderungan penurunan suplai bahan bakar minyak tersebut. Pemerintah harus mendorong eksplorasi dan studi geologi untuk mendapat cadangan baru. Untuk itu, pendidikan tinggi ilmu kebumian, asosiasi, Lemigas, BPPT, dan Badan Geologi perlu berintegrasi bersama-sama membangun industri perminyakan.
         Investor perlu dirangsang agar mampu meningkatkan aktivitas eksplorasi dan produksi migas. Dukungan kebijakan dan anggaran untuk menggenjot eksplorasi dirasa minim. Tadi disebutkan bahwa anggaran eksplorasi hanya 0,07 persen sehingga calon investor tidak tertarik untuk mengeksplorasi. Skema kontrak dan bagi hasil untuk kontraktor harus lebih fleksibel dan menarik seiring semakin sulitnya pencarian minyak. Negara harus memikirkan investasi untuk kegiatan eksplorasi tersebut untuk mengatasi krisis minyak.
        Sekarang ini, baru 50 persen produksi minyak yang bisa diolah dalam negeri. 35 persen lainnya diserahkan kepada kontraktor untuk membayar cost recovery pengolahan minyak di luar negeri, dan 15 persen produksi sisanya untuk bagi hasil dengan kontraktor. Ke depan, perlu diupayakan agar seluruh minyak tersebut diolah di kilang dalam negeri. Dengan kata lain, pemerintah harus mengambil langkah untuk mengambil alih 35 persen untuk membayar cost recovery. Apabila 85 persen produksi minyak dalam negeri diolah, sudah mencukupi kebutuhan BBM untuk dalam negeri. Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan windfall profit tax atau pajak tambahan atas keuntungan perusahaan minyak karena lonjakan harga minyak mentah dunia.
         Analisis saya artinya selama ini negara menguras cadangan minyak lebih kurang delapan kali lebih cepat dari Arab Saudi dan Libia. padahal masih banyak lajur alernatif lainnya yang bisa kita ambil untuk mencegah kenaikan BBM untuk yang kesekiankalinya seperti di hapusnya BLT agar pemerintah memiliki cukup modal untuk menyeimbangkan harga stabil minyak bumi, bisa juga kita memperkuat anggaran kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar